Segogolong, merupakan doa supaya rezeki melimpah. Daun pisang memiliki makna yaitu niat harus mudah dibentuk dan dimantabkan dengan keras. Telur bermakna, manusia diciptakan oleh tuhan dengan derajat yang sama, yang membedakan hanya sifat dan tingkah lakunya. Makna dari gula adalah memohon agar rezeki melimpah.
242resep pelengkap tumpeng ala rumahan yang mudah dan enak dari komunitas memasak terbesar dunia! Lihat juga resep Mie Goreng Praktis ~ Pelengkap Tumpeng enak lainnya. Dengan memakai Cookpad, kamu menyetujui Kebijakan Cookie dan Ketentuan Pemakaian .
tetapiada tumpeng yang memiliki menu berbeda dari tumpeng yang lainnya, yaitu TUMPENG KUNING / KREASI BARU. Tumpeng ini memiliki menu masakan sebagai berikut : NASI KUNING; AYAM GORENG / OPOR; TUMPENG BROKOHAN, pelengkap : sego golong; TUMPENG TENDHAK SITI, pelengkap : tetel, bubur; TUMPENG PUNGKUR; seperti ; RESEP OTAK - OTAK BANDENG. BAHAN :
PelengkapTumpeng dari Bunda Tiara Surabaya & Sidoarjo Info 082244449942. Pelengkap Tumpeng , merupakan menu andalan dari Bunda Tiara Catering kami. Hadir bisa dengan nasi kuning ataupun nasi putih lengkap dengan lauk dan olehan sayur lainnya. Sangat cocok untuk acara istimewa Anda seperti arisan, tasakuran pernihakan, khitan, ulang tahun dan
Dá»ch VỄ Há» Trợ Vay Tiá»n Nhanh 1s. Bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan ârealitas yang tak terjangkauâ sehingga menjadi âyang sangat dekatâ. Dengan simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat, âmenyatuâ dalam dirinya. Simbol ritual dipahami sebagai perwujudan maksud bahwa dirinya sebagai manusia merupakan tajalli, atau juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Sebagaimana diketahui, dalam tradisi Islam Jawa, setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan manusia, rata-rata mereka mengadakan ritual slametan, dengan memakai berbagai benda-benda makanan sebagai simbol penghayatannya atas hubungan diri dengan Allah. Slametan sendiri berasal dari kata Slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sehingga slametan bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai tradisi ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan talak balak. Simbol-simbol ritual yang sering mereka gunakan dalam ritual slametan wilujengan antara lain 1. Golong sejodo Golong sejodo ini biasanya dibuat dari nasi putih yang berbentuk tumpeng atau seperti gunung yang berjumlah dua sepasang. Arti dari tumpeng sendiri dalam masyarakat muslim Jawa sering disebut âmetu dalan kang lempengâ yang diartikan bahwa manusia dalam kehidupannya didunia diwajibkan melalui jalan yang lurus lempeng dan juga jalan yang benar, seperti yang diajarkan oleh agama. Selain itu, tumpeng yang berbentuk seperti gunung juga merupakan gambaran dari bidang-bidang kehidupan manusia dan puncak dari tumpeng merupakan gambaran dari kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental. Arti lain dari âgolong sejodoâ adalah mengingatkan kita bahwa Nabi Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah, dan merupakan cikal bakal manusia di Bumi ini. 2. Tumpeng Robyong Tumpeng robyong merupakan tumpeng dari nasi putih yang pinggirnya dihiasi dengan daun-daunnan, antara lain daun dadap, daun turi, dan sebagainya. Tumpeng robyong sebagai gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Tumbuh-tumbuhan ataupun sayur-sayuran yang dipakai untuk kebutuhan hajat atau slametan tersebut diharapkan akan segera tumbuh kembali. 3. Tumpeng Gepak Tumpeng gepak merupakan pralambang dari ârojo koyoâ yaitu hewan-hewan peliharaan dari orang yang sedang melaksanakan hajat tersebut, semoga hewan peliharaan tersebut dapat cepat beranak pinak, sehingga dapat dipergunakan untuk membantu kehidupan manusia. 4. Ambengan Ambengan adalah nasi putih yang ditempatkan dalam wadah, wadahnya dapat berupa panci atau besek. Ambengan merupakan gambaran dari bumi tanah sebagai tempat hidup dan kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan baik itu manusia, hewan, tumbuhan, dan lainnya, yang harus dijaga kelestariaannya, karena itu merupakan unsur yang penting dalam kehidupan semua makhuk ciptaan Tuhan. 5. Ingkung Ingkung adalah ayam yang dimasak secara utuh setelah dibersihkan bulu dan kotorannya. Dalam penyajiannya ayam diikat sehingga rapi, masyarakat jawa sering menyebutnya âdiingkungâ artinya ayamnya ditali. Ingkung sebagai perlambang dalam beribadah, masyarakat jawa sering memaknainya âmanembaho ingkang linangkungâ yang berarti manusia dalam beribadah kepada Allah SWT sebaiknya bersegeralah dan beribadahlah dengan khusuk, seakan engkau akan mati besok. Dengan makna tersebut manusia akan lebih khusuk lagi dalam beribadah kepada Tuhannya. Selain itu, makna dari ayam yang ditali tadi adalah mengambarkan bahwa manusia dalam kehidupannya sebaiknya mengendalikan nafsunya agar tidak berlebihan dan terlalu ambisius dalam berbagai bidang kehidupan 6. Jenang Palang Jenang palang adalah nasi putih yang dicampur dengan gula merah dan diatasnya diberi daun pandan yang dipalangkan dan biasanya ditempatkan pada piring. Jenang palang merupakan penggambaran bahwa dengan slametan tersebut diharapkan akan menghalangi âkomo sengkoloâ atau gangguan dan mala petaka yang sudah ada maupun gangguan yang akan datang, baik itu gangguan dari manusia ataupun dari syetan. 7. Jenang Pliringan Jenang pliringan merupakan pralambang dari âkakang kawah adhi ari-ariâ. Hal ini terkait dengan ajaran mistik dalam masyarakat jawa bahwa setiap manusia memiliki empat saudara yang dikenal dengan sebutan âkakang kawah adhi ari-ariâ. Sedangkan dua saudara yang lain adalah ârahâ darah dan âpuserâ tali pusar. Keempat saudara tersebut dalam konteks Jawa dihayati sebagai âsing ngemong awakâ artinya yang menjaga dan memelihara manusia, karenanya harus dihormati, tidak disia-siakan, dan selalu âdisapaâ dalam setiap ritual slametan atau wilujengan. 8. Jenang Abang Putih Jenang abang putih sebagai pralambang terjadinya manusia yang melalui benih dari ibu yang dilambangkan dengan jenang warna merah dan benih dari bapak yang dilambangkan dengan jenang warna putih. Jenang ini terbuat dari nasi putih, untuk warna merah dalam penyajiannya nasi putih dicampur dengan gula merah dan untuk yang satunya nasi disajikan secara utuh. 9. Jenang Baro-baro Jenang baro-baro merupakan perlambang dari kehidupan mikrokosmos, artinya selain manusia yang hidup dibumi ini ada makhluk hidup lain yang diciptakan oleh Tuhan hidup berdampingan dengan manusia itu sendiri, yang keberadaannya sering terlupakan karena memang ukurannya yang tak dapat terlihat oleh mata secara sekilas yaitu hewan-hewan yang ukurannya serba kecil seperti misalnya semut, kutu, belalang, nyamuk, lalat, dan masih banyak lagi, yang kehidupan mereka juga mendukung kelangsungan ekosistem di bumi ini. Atas dasar itu, masyarakat jawa menyedekahi bangsa âkutu-kutu walang atogoâ sebagai rasa kepedulian terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. 10. Jajan Pasar Jajan pasar sebagai perlambang dari sesrawungan atau hubungan kemanusiaan, silaturahmi antar manusia. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang, seperti dalam jajan pasar ada buah-buahan, makanan kecil, sekar setaman, rokok dan sebagainya. Dalam jajan pasar juga sering ada uang dalam bentuk âratusanâ yang dalam bahasa jawa âsatusâ, yang merupakan simbol dari sat atau âasatâ yang berarti habis dan âatusâ yang berartibersih. Hal ini dapat diartikan bahwa manusia dalam beribadah kepada Allah untuk membersihkan diri dari dosa hendaknya dilakukan sampai benar-benar bersih sehingga ketika mereka kembali kepada Sang Pencipta dalam keadaan benar-benar bersih. 10. Dem-deman Dem-deman merupakan lambang dari ketentraman, dengan diadakannya slametan diharapkan kehidupan manusia atau orang yang menyelenggarakan hajatan tersebut akan âadem ayem toto titi temtremâ yaitu tenang, tentram, dan damai tidak ada suatu halangan apapun dalam menghadapi kehidupan. Dem-deman ini terbuat dari daun âdadap srepâ yang direndam air dalam wadah. 11. Telur, sebagai lambang dari âwiji dadiâ atau benih terjadinya manusia. 12. Kecambah, simbol dari benih dan bakal manusia yang akan selalu tumbuh seperti kecambah. 13. Kacang Panjang, dalam kehidupan sehari-hari semestinya manusia selalu berpikir panjang nalar kang mulur dan jangan memikirkan pikiran yang picik, sehingga akan selalu dapat menanggapi segala hal dan keadaan dengan penuh kesadaran dan bijaksana. 14. Tomat, kesadaran akan menimbulkan perbuatan yang gemar âmad-sinamadanâ dan berupaya menjadi âjalma limpat seprapat tamatâ. Manusai dalam menjalani kehidupannya diharapkan dapat selalu cermat dalam berbagai bidang kehidupan dan diharapkan dapat selalu paham situasi yang sedang terjadi maupun kejadian yang sedang dihadapinya dan dapat mengikutinya. 15. Kangkung, manusia diharapkan termasuk sebagai manusia yang linangkung atau manusia yang mempunyai kelebihan dalam bidang apapun. 16. Apem dan Kupat Lepet, dalam menyelenggarakan selamatan dan perbuatan yang dilakukan setiap hari tentunya tidak luput dari kesalahan lepat, untuk itu semoga Allah SWT selalu memberikan ampunan segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat. 17. Pisang, yang dalam bahasa jawa disebut âgedangâ merupakan pralambang dari etika kehidupan, diharapkan orang yang melakukan hajat tersebut ataupun manusia pada umumnya dapat mencontoh watak pisang yang dapat hidup dimana saja ajur ajer, dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Disamping itu bagian dari tanaman pisang juga sangat banyak manfaatnya, mulai dari daunnya, batang pohon, buahnya sendiri dan masih banyak yang lainnya. Selain itu, pisang gedang sering juga dimaknai sebagai âgumreget nyuwun pepadangâ artinya manusia dalam menjalani kehidupannya diharapkan selalu meminta petunjuk hanya kepada Allah SWT dalam keadaan atau situasi apapun. 18. Pembakaran kemenyan sebagai sarana âlantaranâ, setelah semua âubarampeâ atau piranti slametan diijabkan atau dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya slametan oleh sesepuh atau ulama setempat, biasanya ditutup dengan berdoa dan membakar kemenyan, hal ini dimaknai sebagai sarana terkabulnya doa-doa yang diinginkan. Pembakaran kemenyan dlam tradisi masyarakat jawa sering dimaknai sebagai âtalining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaosâ, artinya bahwa slametan yang dilaksanakan tersebut diharapkan akan lebih meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bagi keluarga yang melaksanakan maupun bagi seluruh manusia pada umumnya. Selain itu, niat dari slmetan atau tujuan diadakannya hajat itu digambarkan seperti âurubing cahya kumaraâ yaitu seperti api yang berkobar-kobar, berharap bahwa tujuannya segera tercapai, sedangkan asap kukus dari kemenyan dimaknai akan membawa doa-doa yang diijabkan terbang sampai ke surga dan dapat diridhoi dan dikabulkan oleh Allah SWT. *Penulis adaah Ketua Badan Pelaksana Wilayah BPW Serikat Petani Indonesia SPI Yogyakarta
Desa Kemiren, Glagah, Bayuwangi, sekitar 90% penduduk, merupakan masyarakat adat Suku Osing. Mereka tetap mempertahankan tradisi leluhur. Salah satu, kuliner khas sajian para tamu. Bahkan, saban tahun ada gelaran Festival Tumpeng Sewu atau Festival Seribu Tumpeng. Warga juga kerap menggelar kenduri sebagai ungkapan syukur. Dalam ritual adat Osing, ada sajian tumpeng serakat. Selama 10 tahun terakhir, bahan baku tumpeng serakat tak lengkap karena sudah langka, dan ganti jenis berbeda, seperti terung, biasa pakai terung putih jadi terung hijau. Kacang koro mulo atau koro putih juga ganti warna hijau. Beragam pangan tersaji, seperti tumpeng dengan pecel âpitek atau pecel ayam. Olahan ayam kampung panggang dengan bumbu parutan kelapa dan sambal. Ada juga sego golong, yakni, nasi berbungkus daun pisang. Lauk pauk, telur rebus campur bumbu pecel seperti pecel pitek. Ritual ini penting, sebagai bagian menjaga ketahanan pangan lokal, penganan yang tumbuh di lingkungan setempat. Masyarakat adat Osing di Kemiren, selain menjaga ritual juga melestarikan rumah adat. Lebih dari separuh penduduk mempertahankan rumah berarsitektur khas Osing, ada yang berusia ratusan tahun, diwariskan turun temurun hingga lima generasi. Semua bangunan asli, hanya dinding berbahan anyaman bambu tiga kali renovasi. Anyaman bambu pakai jenis pipil lantaran tebal dan kuat. Bunyi gamelan mengalun merdu, membahana dari balik Rumah Budaya Osing, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Rumah Budaya Osing ini sebagai ruang pertemuan masyarakat adat Osing. Angklung pagelak khas suku Osing, turut mengiringi. Para pemuda adat Osing cekatan, menata aneka makanan tradisional Using atau Osing di dalam piring dengan tutup daun pisang. Aneka sayuran dengan beragam lauk pauk lengkap tersaji. Kuliner khas kenduri sebagai ucap syukur kepada Tuhan. Tak ketinggalan, ada kendi berisi air minum. Para tetamu memegang daun pisang untuk wadah pengganti piring. Bergantian mereka mengambil nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk. âAda tumpeng khusus untuk ritual kesuburan,â kata Wiwin Indiarti, dosen Sastra Inggris Universitas PGRI Banyuwangi sekaligus pelestari tradisi Osing. Sekitar 90% penduduk Kemiren, merupakan masyarakat adat Suku Osing. Mereka tetap mempertahankan tradisi leluhur. Salah satu, kuliner khas sajian para tamu. Bahkan, saban tahun ada gelaran Festival Tumpeng Sewu atau Festival Seribu Tumpeng. Warga juga kerap menggelar kenduri sebagai ungkapan syukur. Dalam ritual adat Osing, ada sajian tumpeng serakat. Selama 10 tahun terakhir, bahan baku tumpeng serakat tak lengkap, ganti jenis berbeda, seperti terung, biasa pakai terung putih jadi terung hijau. Terung, katanya, tak boleh berwarna ungu. Kacang koro mulo atau koro putih juga ganti yang warna hijau. Selain itu, labu siam putih juga nyaris sulit dicari alias langka berganti wargan hijau. Aneka tanaman sayur tersebut mulai langka, lantaran masyarakat mulai meninggalkan tanam sayuran itu. Mereka mengganti dengan sayur dari luar daerah dengan rasa dinilai lebih enak dan renyah. Wiwin mengatakan, tugas pemerintah membudidayakan bahan makanan atau bibit lokal untuk ritual. Labu putih, banyak di Sunda. âMasyarakat Sunda memiliki alasan membudidayakan, kenapa di Banyuwangi punah?â Tumpeng, salah satu sajian dalam ritual Suku Osing. Foto Eko Widianto/ Mongabay Indonesia Ritual ketahanan pangan dan kesuburan Selain itu juga ada bahan makanan yang tak umum mereka pakai sebagai bahan baku makanan, yakni, daun belimbing yang berbunga tetapi gagal berbuah. Masakan ini diwariskan turun temurun secara lisan. Tak ada teks atau buku yang menuliskan resep ini hingga banyak yang tak mengetahui tata cara memasaknya. Selain itu, tumpeng juga tersaji pecel âpitek atau pecel ayam. Olahan ayam kampung panggang dengan bumbu parutan kelapa dan sambal. Ada juga sego golong, yakni nasi berbungkus daun pisang. Lauk pauk, telur rebus campur bumbu pecel seperti pecel pitek. Sego golong dipercaya agar pikiran pemilik hajat bisa plong atau lega. Ritual ini penting, katanya, sebagai bagian menjaga ketahanan pangan lokal, penganan yang tumbuh di lingkungan setempat. Bahan pangan tahan cuaca karena perubahan iklim, dan tahan predator lokal yang memiliki keunggulan tersendiri. Tumpeng, merupakan bagian dari ritus kesuburan. Meraayakan manusia dengan tanah. Tumpeng untuk ritual, katanya, tersaji khusus khusus. Sebelum dimakan bersama ada ritual dipimpin tokoh adat. Menurut Wiwin, ritual tumpeng merupakan usaha leluhur membangun interaksi manusia dengan leluhur dan sesama manusia. âMakan bareng, duduk bersama. Tinggi sama rendah,â katanya. Ia juga cara menjaga alam. Ritual masyarakat adat, katanya, lekat dengan tanah leluhur. Ia bagian dari kultur masyarakat agraris. âBagaimana ritual kesuburan dilakukan jika tak ada lahan?â Terjadi alih fungsi lahan jadi permukiman, industri dan tambang. Alih fungsi lahan, katanya, tak dibenarkan dan harus dikendalikan. âTak tersisa, alam penting untuk menjaga keseimbangan,â katanya. Kini, sebagian bahan pangan langka dan punah apalagi di pasar tersedia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Masyarakat Osing tak lagi menanam di halaman rumah. Pola menanam tanaman di rumah, katanya, bagian dari menjaga ketahanan pangan. âKita sudah berbeda dengan lehuhur,â katanya. Perabotan di rumah adat Osing. Foto EKo Widianto/ Mongabay Indonesia Rumah adat Osing Masyarakat adat Osing di Kemiren, selain menjaga ritual juga melestarikan rumah adat. Lebih dari separuh penduduk mempertahankan rumah berarsitektur khas Osing, ada yang berusia ratusan tahun, diwariskan turun temurun hingga lima generasi. Semua bangunan asli, hanya dinding berbahan anyaman bambu tiga kali renovasi. Anyaman bambu pakai jenis pipil lantaran tebal dan kuat. Bagian depan rumah pakai gebyok berbahan papan kayu. Bangunan utama seperti pilar atau saka guru dengan kayu benda atau bendo Artocarpus elasticus. Orang Osing menyukai kayu bendo karena stabil tak berubah meski terkena hujan dan panas. âKayu jati bisa melar,â katanya. Adi Purwadi, pimpinan Rumah Budaya Osing mengatakan, kayu bendo relatif ringan dan keawetan setara kayu jati. Bendo juga ulet seperti kayu besi. Kayu bendo berat dan berwarna warna putih kekuningan. âKayu bendo juga cocok untuk furnitur,â katanya. Struktur rumah Osing berbeda terlihat dari atap bangunan. Terdiri dari rumah tikel balung dengan atap empat, baresan beratap tiga dan crocogan dengan atap dua. Biasanya, kata Adi, pakai atap tipe tikel, sedangkan baresan jarang. Crocogan biasa untuk bangunan di dapur. Ada yang menyebut rumah beratap tikel balung melambangkan penghuni sudah mapan. Sedangkan baresan melambangkan pemilik cukup mapan secara materi dengan rumah bentuk tikel balung. Rumah crocogan mengartikan penghuni masih keluarga muda atau dengan ekonomi belum mapan. Setiap rumah memiliki tempat penyimpanan hasil panen dan lesung atau alat penumbuk padi. Ia sebagai bagian usaha ketahanan pangan masyarakat Osing. Bagian dalam ada ruang tamu, sentong. Ruang tamu terdiri atas meja kursi untuk menerima tamu. Ada sejumlah lemari jadi etalase atau pajangan aneka gelas. Ada kinangan atau tempat aneka piranti untuk sirih, dan aneka pecah belah. Bagian belakang merupakan dapur dengan tungku berbahan bakar kayu dan menyimpan bahan pangan. Tarian grandrung dari Suku Osing. Foto Eko Widianto/ Mongabay Indonesia Merawat tradisi leluhur Sejumlah pemuda duduk bersimpuh, mereka piawai memainkan instrumen musik tradisi seperti angklung pagelak khas suku Osing. Di sinilah, Lembaga Adat Masyarakat Osing Lemau beraktivitas, termasuk belajar mocoan atau tembang. Lemau berdiri sejak 2014. Kalau di Bali, macoan dikenal dengan membase atau Jawa menyebut mocopat, Madura mengenal istilah mamaca. Mereka tengah mocoan babad tawangalun. Dosen Wiwin mengatakan, mocoan sering gunakan lontar Yusup. Tembang lontar Yusup dari kisah yang tertulis dalam Surat Yusuf dalam Al-Quran. Dengan aksara Arab pegon ini, awalnya ditulis di atas daun lontar dengan bahasa Jawa kuno dan Jawa baru. Kondisi fisik daun lontar mulai lapuk hingga disalin di kertas. Lontar Yusup, katanya, serupa dengan lontar Yusuf di Bali, Madura, dan Lombok. Cirebon juga memiliki serat Yusup. Ada 20 variasi tembang hingga perlu direkam dalam satu tembang utuh agar tetap terjaga. Mocoan lontar Yusup biasa untuk ritual pernikahan. Sebagai wujud memanjat syukur dan berdoa agar pasangan langgeng seperti Nabi Yusuf dan Zulaikah. Juga ditembangkan dalam acara khitanan, agar anak tak merasa sakit saat khitan. Awalnya, ada warga Osing yang memiliki koleksi lengkap serat ambyah yang menceritakan kisah 25 nabi. Ada sejumlah pihak meminjam kini tinggal tersisa lima nabi, sebagian rusak hingga tak bisa dibaca. Masyarakat adat Osing, kadang menganggap itu sebagai pusaka. Mereka menyimpan dan tak membaca apalagi mengamalkan ajaran di peninggalan leluhur itu. Belum lagi, sebagian warga Osing tak bisa membaca apalagi mocoan. Makin lama makin langka, tak banyak pelestari mocoan. Beruntung lembaga masyarakat adat Osing menyalin dan melestarikan tradisi mocoan. Ada pula naskah serupa yang disimpan di sebuah pesantren. Seorang kiai pengasuh pesantren turut menyalin dan menulis lontar Yusup agar tetap terjaga. Wiwin menjelaskan, masyarakat Osing menganggap lontar Yusuf merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Tiap tahun, ada ritual membaca tembang semalam suntuk. Kini, ia juga tengah tekun menyalin dan proses digitalisasi lontar secara bertahap. Ada pula lontar Ahmad, yang bercerita kisah nabi Muhammad. Ada banyak naskah kuno yang dipegang masyarakat. Pemilik sebagian besar petani yang diwarisi dari orangtua mereka. Mereka menjaga lontar sebagai pusaka. Sayangnya, mereka tak bisa baca dan mengamalkan. Sejak Desember 2017, Lemau menggelar pelatihan mocoan bersama generasi muda. Ketua Lontar Sub Milenial, Noval Moco mengatakan, kini banyak anak muda tertarik ikut mocoan. Sejumlah guru sekolah dasar juga belajar untuk materi pelajaran muatan lokal agar tradisi Osing tetap lestari. âBanyak anak muda yang tertarik belajar mocoan,â kata Noval. Dulu, mocoan hanya oleh laki-laki. Kini, perempuan juga belajar dan mulai menembang mocoan. Rumah adat Osing. Foto EKo Widianto/ Mongabay Indonesia Artikel yang diterbitkan oleh bencana ekologis, featured, hutan indonesia, hutan lindung, Hutan Rakyat, jawa, jawa timur, kerusakan lingkungan, ketahanan pangan, Masyarakat Adat, pertanian, Perubahan Iklim
Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda Narasi NarasiMakna tumpengMakna Nasi GolongMakna IngkungTumpeng Miriombo WetanWilujenganGambarNarasumberRelasi BudayaSumber LainDari Kanal Tumpeng, golong, giling dan ingkung merupakan sejenis menu makanan yang wajib ada dalam sebuah prosesi wilujengan. Setiap menu memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Dan untuk mengetahui hal tersebut saya mengunjungi Bapak Ali Muksin yang beralamatkan di Dusun Miriombo Wetan RT 005 RW 006, beliau merupakan sesepuh desa yang berusia 83 tahun dan mantan imamudin atau kaum untuk dusun Miriombo Wetan. Makna tumpeng Tumpeng memiliki bentuk yang mengerucut dengan titik kerucut berada di atas. Dulu, tumpeng ini dibentuk dengan perlengkapan khusus, yakni kukusan yang terbuat dari anyaman bambu. Meski memiliki bentuk yang sama, akan tetapi ada berbagai macam bentuk tumpeng yang dibedakan dari warna nasi beras maupun jagung, bentuk besar atau kecil, serta tujuan utamannya. Artinya setiap tumpeng juga dapat memiliki pemaknaan yang berbeda-beda tergantung dari hajatan yang dilakukan. Pemaknaan tumpeng dimulai dari paling atas tumpeng. Tepat diujung atas tumpeng sering diberi âkulukâ atau topi yang terbuat dari daun pisang yang berwarna hijau. Kuluk tersebut merupakan sebuah perlambang dari kemakmuran, kenyamanan, dan perdamaian yang diambil dari warna hijau daun pisang tersebut. Kemudian dengan bentuknya yang juga mengerucut menyimbolkan jika kemakmuran, kenyamanan dan perdamaian tersebut hanya milik Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT yang kemudian menyebar ke bawah atau ke hambanya. Makna Nasi Golong Di bagian bawah kerucut kemudian dibuat sabuk/tali kendit yang juga terbuat dari daun pisang yang dikepang atau dianyam. Hal tersebut menyimbolkan jika tali ikatan persaudaraan tersebut akan kuat jika dibangun yang disimbulkan dengan dianyam. Selain itu juga menjadi simbol jika orang lemah/orang kecil yang bersatu akan menjadi kekuatan yang besar, seperti halnya dengan anyaman daun pisang tersebut. Kemudian di bawah tumpeng ada nasi yang dibentuk bulat-bulat yang diistilahkan dengan golong. Nasi golong ini merupakan sebuah persimbolan dari pendidikan yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Meskipun hanya orang tuanya yang mengadakan hajatan, akan tetapi semua anak-anaknya juga diikutsertakan. Biasanya jumlah golong tersebut sama dengan jumlah anak yang dimilikinya. Tujuan dari pembuatan golong tersebut adalah agar anak-anaknya nanti dapat mengikuti kebaikan dan perikaku terpuji yang dilakukan oleh orang tuannya. Bagian paling bawah terdapat hasil bumi yang beraneka ragam dari darat dan air. Hal tersebut merupakan sebuah simbol dari kesejahteraan, kemakmuran, dan juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT. Makna Ingkung Mbah Ali Muksin melanjutkan pemaknaan menu ayam ingkung. Keberadaan ayam ingkung ini sebenarnya merujuk kepada perintah Nabi Muhammad SAW jika akan mengadakan selamatan maka alirkanlah darah. Darah tersebut dapat berasal dari ayam, telor ayam, landak, kambing, sapi, dan unta. Lantas ayam ini menjadi pilihan dengan sebab hewan yang relatif lebih mudah untuk didapatkan. Pemaknaan ayam dimulai dari asal katanya dari bahasa arab ayamun yang berarti hari. Yang kemudian menjadi simbol agar mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan ketentraman setiap harinya. Lantas pemaknaan kedua adalah dari nama ayam dalam bahasa jawa pitik yang juga berasal dari bahasa arab yang memiliki arti kunci. Hal tersebut kemudian menjadi simbol jika ayam ingkung tersebut merupakan kunci dari hajatan atau wilujengan yang diadakan. Dalam membagi daging ayam ingkung ini tidak diperbolehkan untuk mematahkan tulang-tulangnya, namun pembagiannya adalah dengan mematahkan tepat pada ruas-ruasnya. Tindakan ini merupakan persimbolan atas larangan Nabi Muhammad agar tidak memutuskan tali persodaraan. Tumpeng Miriombo Wetan Pemaknaan tumpeng tersebut berbeda pada setiap hajatan sesuai dengan tujuan hajatan tersebut. Pada acara merti dusun Miriombo Wetan, setiap tumpeng dan golong pun memiliki tujuan dan pemaknaan yang sedikit berbeda. Bapak Ali Muksin kemudian menjelaskan secara rinci mengenai tumpeng dan ubo rampenya tersebut. Tumpeng berwarna kuning merupakan simbol dari sifat bakti masyarakat Miriombo Wetan terhadap leluhur yang ada di Miriombo Wetan. Kemudian Tumpeng Kencono merupakan sebuah simbol untuk meminta kepada Allah SWT agar segala doâa-doâanya terijabah, segala usaha yang dilakukan masyarakat Miriombo Wetan baik petani, pedagang, buruh, dsb, dapat berjalan dengan lancar dengan hasil yang maksimal tanpa suatu kendala apapun. Wilujengan Dalam acara wilujengan Miriombo Wetan tersebut juga terdapat beberapa golong yang setiap golong merupakan simbol-simbol tertentu. Yang pertama adalah sebagai simbol kebaktian kepada istri nabi Adam AS yang telah melahirkan umat manusia. Yang kedua adalah sebagai simbol bakti kepada Ki Ageng Mataram yang mulai babat alas di tanah Jawa. Yang ketiga adalah sebagai simbol bakti kepada Ki Juru Mentani. Kemudian yang keempat adalah sebagai simbol bakti kepada Dewi Sri yang atas rezeki dan bibit tanaman yang tumbuh bagi para petani. Selanjutnya adalah golong sebagai bentuk bakti kepada Dewi Pertimah. Kemudian yang terakhir adalah golong empat penjuru mata angin dan satu pusat sebagai wujud permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dikabulkan permintaannya. Dan secara umum hajatan wilujengan tersebut merupakan bentuk untuk membersihkan dusun merti dusun agar bumi yang ditempati bersih dari berbagai gangguan dan mendapatkan kehidupan yang nyaman dan tentram Gambar Narasumber Ali Muksin, 83 tahun, Sesepuh Desa, Dusun Miriombo Wetan RT 02/RW 06, Desa Giripurno Relasi Budaya Sumber Lain Dari Kanal
Tumpeng merupakan hidangan khas Indonesia yang biasanya disajikan untuk merayakan hari spesial. Cara penyajiannya dengan meletakkan nasi berbentuk kerucut di bagian tengah, kemudian dikelilingi lauk-pauk dan sayuran. Ternyata, tumpeng merupakan singkatan dari yen metu kudu sing mempeng. Artinya, jika keluar harus dengan sungguh-sungguh. Dilengkapi tujuh atau pitu macam lauk-pauk yang dimaksudkan sebagai pitulungan berarti meminta pertolongan. Uniknya, tumpeng pun menyimpan kisah sejarah beserta makna mendalam yang inspiratif, lho. Simak ulasan selengkapnya di bawah ini!1. Kisah sejarah di balik kelezatan Dilansir dari buku berjudul Bali Bukan India, tumpeng merupakan gambaran kondisi geografis Indonesia yang dipenuhi gunung berapi. Hidangan ini sudah ada sejak dahulu kala untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para Hyang atau arwah proses penyebaran agama Hindu di Pulau Jawa terjadi, bentuk mengerucut tumpeng dibuat untuk meniru Gunung Mahameru yang dianggap suci. Konon, gunung ini menjadi tempat tinggalnya para Dewa-Dewi. Akhirnya, masuknya agama Islam ke Pulau Jawa membuat arti tumpeng bergeser. Semula untuk memuliakan gunung, lalu berubah menjadi wujud syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya, disajikan selepas pengajian Al-Qur'an yang disantap bersama-sama. 2. Makna filosofis pada tumpeng yang Secara garis besar, tumpeng merupakan wujud dari nilai toleransi, keikhlasan, kebesaran jiwa, dan kekaguman atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, seperti dilansir dari buku Aneka Kreasi Tumpeng. Bentuk tumpeng yang mengerucut, kemudian dikelilingi lauk-pauk dan sayuran merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi berarti lambang dari keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta. Aneka lauk pauk dan sayuran di sekeliling nasi menjadi simbol isi alam. Baca Juga Resep dan Cara Membuat Nasi Tumpeng Enak, Bikin Acara Makin Meriah Gak cuma itu, ada tumpeng berwarna kuning dan putih dengan makna berbeda. Warna putih pada nasi tumpeng melambangkan kesucian, sedangkan kuning lebih pada kekayaan dan moral yang lauknya pun punya makna tersendiri, seperti ikan asin menandakan gotong royong. Telur rebus berarti kebulatan tekad. Gak boleh terlewat, daging ayam menjadi simbol patuh terhadap Sang Pencipta. Sementara itu, sayurannya seperti kluwih menjadi simbol keinginan mendapat rezeki berlimpah-ruah. Untuk sayur urap yang terdiri dari bayam, kangkung, dan taoge memiliki makna simbol kedamaian, keyakinan, serta kesuburan. 3. Gak boleh sembarangan dipotong, begini caranya! Langkah pertamanya, ujung tumpeng kerucut dipotong oleh orang yang dihormati di masyarakat. Setelah itu, barulah orang yang punya hajat atau pun acara membelah tumpeng hingga tiga per empat ke bawah. Ternyata, cara pemotongan ini memiliki arti simbolis seperti dilansir dari Aneka Kreasi Tumpeng. Maknanya, seolah rezeki bisa dibagi sama rata dengan sesama warga. Baca Juga 7 Cara Memasak Tumpeng yang Enak, Beserta Tips Menghiasnya 4. Kapan tumpeng disajikan? Tumpeng biasanya disajikan sebagai syarat menyelenggarakan upacara adat suku Jawa, Madura, Sunda, dan Bali. Biasanya, upacara adatnya berkaitan dengan daur kehidupan seseorang, mulai dari kehamilan, kelahiran, perkawinan, hingga kematian, seperti dilansir dari buku berjudul Aneka Kreasi Tumpeng. Seiring berjalannya waktu, tumpeng pun gak hanya disajikan saat ada acara adat, tetapi juga berbagai jenis syukuran, seperti Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus. Biasanya, disajikan tumpeng berwarna merah-putih yang melambangkan warna bendera Indonesia. 5. Ragam jenis tumpeng di Ada pun jenis-jenis tumpeng di Indonesia, antara lain Tumpeng pungkur yang disajikan saat acara kematian. Tumpeng megana untuk acara lahiran. Tumpeng robyong dihidangkan buat cara besar, berupa musim panen, meminta hujan, hingga mengusir penyakit. Tumpeng kendit yang melambangkan telah bebas dari kesulitan. Tumpeng tumbuk digunakan untuk acara ulang tahun. Nah, itulah kisah sejarah dan makna filosofi tumpeng yang wajib kita pahami. Jadi, lauk apa yang paling kamu incar di dalam tumpeng, nih?Download aplikasi masak Yummy App untuk mendapatkan beragam referensi bahan makanan dan masakan sesuai dengan selera kamu, lengkap dengan cara memasaknya hanya di Google Play Store dan App Store. Baca Juga 10 Bagian Tumpeng yang Sarat Makna dan Punya Filosofi Mendalam
sego golong pelengkap dari tumpeng